29 September, 2010

Dua Kata Kunci Keberhasilan Memajukan Lembaga Pendidikan

Saya sangat bersyukur, tidak sedikit orang mengatakan bahwa, saya telah berhasil dalam memimpin kampus UIN Maulana malik Ibrahim Malang. Keberhasilan itu sesungguhnya, baru hal-hal yang bersifat elementer, misalnya gedung kampusnya kelihatan bertambah baik, jumlah dosennya bertambah banyak, kelembagaannya berubah dari sekolah tinggi menjadi bentuk universitas. Demikian pula peminat menjadi mahasiswa baru setiap tahun semakin banyak, dan yang seringkali dianggap strategis adalah pengembangan system ma’had dan penyelenggaraan kuliah Bahasa Arab dan Bahasa Inggris yang sudah beberapa tahun dijalankan.

Atas penilaian itu, tidak sedikit pimpinan perguruan tinggi, baik dari perguruan tinggi agama Islam negeri seperti UIN, IAIN dan STAIN dari berbagai daerah datang untuk melakukan studi banding. Anggapan posisitif seperti itu juga berasal dari perguruan tinggi Islam swasta dan juga Pondok Pesantren. Bahkan selain itu, tidak sedikit pimpinan perguruan tinggi umum negeri maupun swasta dan juga perguruan tinggi agama selain Islam, seperti dari Isntitut Agama Hindu Negeri Bali, beberapa kali datang ke UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Tamu lainnya dari Pimpinan Sekolah Tinggi Agama Kristen Palangkaraya, Ambon dan STAKN Papua untuk studi banding.

Anggapan positif dari berbagai kalangan itu, menjadikan saya dan juga semua warga kampus merasa senang dan bersyukur. Ternyata apa yang dilakukan oleh semua warga UIN Maulana Malik Ibrahim UIN Maliki Malang selama ini dipandang tepat dan membawa kemajuan. Setiap tamu datang berkunjung, setelah mereka melihat langsung kegiatan dan keadaan kampus serta berdialog, akhirnya mereka selalu mengajukan pertanyaan yang nadanya mirip atau serupa, ialah tentang kunci keberhasilan itu. Saya sesungguhnya selalu rikuh menjawabnya, karena terkait dengan pribadi saya sendiri.

Semula sekedar menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, saya selalu berpikir panjang untuk mempertimbangkan, apakah patut saya sendiri menjawabnya secara terus terang. Saya selalu mempertimbangkan masak-masak, sebab khawatir ada sesuatu yang salah jika pertanyaan itu saya jawab secara terus terang. Akan tetapi, kemudian saya berpikir ulang, jika pertanyaan itu tidak saya jawab, maka bagaimana mereka tahu secara persis, sesuatu yang dibutuhkan itu. Maka, atas dasar berbagai pertimbangan, saya menjawabnya secara terus terang. Apakah jawaban dimaksud akan bisa dilaksanakan di tempat mereka itu atau tidak, saya serahkan kepada mereka yang bersangkutan.

Saya selalu mengatakan bahwa kunci keberhasilan membangun lembaga pendidikan Islam yang baru tumbuh dan berada pada taraf permulaan seperti STAIN Malang yang kini telah berubah menjadi UIN Maulana Malik Ibrahim MALIKI Malang, ada dua saja, yaitu harus ada perjuangan dan kedua ada pengorbanan. Dua kata itu harus selalu ada untuk menjadikan lembaga, masyarakat, dan bahkan juga institusi pada level yang lebih luas dan besar, misalnya Negara atau bangsa menjadi maju dan berkembang.

Rumusan dua kata kunci keberhasilan pengembangan kelembagaan itu, saya dapatkan dari renungkan secara mendalam, yaitu mengapa bangsa Indonesia dahulu berhasil merebut kemerdekaan dari penjajah. Padahal ketika itu, penjajah memiliki kekuatan yang luar biasa. Sebaliknya, kekuatan bangsa Indonesia sebagai negara yang terjajah sekian lama, saya membayangkan, amat lemah, kalah jauh bilamana dibandingkan dengan kekuatan musuh atau penjajah waktu itu. Akan tetapi, betapapun ternyata berhasil menang, mampu mengusir penjajah yang kuat itu. Saya melihat kemenangan itu disebabkan oleh karena bangsa ini, ketika itu memiliki jiwa pejuang dan pengorbanan yang luar biasa. Dua kata inilah yang menurut keyakinan saya merupakan kata kunci keberhasilan para pejuang meraih kemerdekaan. Selanjutnya, dua kata kunci itu saya gunakan sebagai bekal dan bahkan strategi untuk mengemban amanah, yaitu membesarkan UIN Maulana Malik Ibraim Malang.

Menurut hemat saya, baru pantas disebut berjuang jika dalam menunaikan amanah dilakukan sepenuh hati, ada cita-cita memberikan yang terbaik, berani menanggung resiko, tidak hanya didorong oleh upah atau imbalan berupa apapun kecuali keberhasilan itu. Dalam berjuang juga tidak menunggu hingga sarana dan prasarananya sempurna. Sebagai contoh, kita lihat misalnya seorang guru agama di pedesaan. Mereka mengajar dengan tekun sekalipun tidak tersedia sarana dan prasarana dan bahkan gaji yang cukup. Mereka tetap mengajar dalam keadaan apapun. Guru seperti ini disebut memiliki semangat berjuang. Beda dengan itu adalah birokrat di sebuah kantor, selalu mengeluh tidak bisa segera menjalankan tugas, dengan beralasan sarana kantornya tidak lengkap, anggarannya tidak cukup, dan alasan-alasan lainnya. Pejabat seperti ini, kelihatan sekali tidak memiliki semangat berjuang. Gaya kerja seperti ini tidak akan membawa hasil. Apalagi yang dipikir olehnya setiap saat, adalah hanya sebatas tunjangan, uang transport, dan fasilitas lain.

Pemimpin yang sekaligus disebut pejuang manakala ia memiliki visi atau cita-cita ke depan yang jelas. Pemimpin seperti ini digerakkan bukan oleh adanya dana yang cukup, sarana yang lengkap, staf yang memadai, atau aturan-aturan dan bahkan juga pengawasan dari atasan yang ketat. Pemimpin pejuang hanya digerakkan oleh cita-cita atau visinya. Sekalipun tidak tersedia fasilitas itu semua, pemimpin pejuang selalu berusaha keras dengan berbagai cara mengusahakannya. Jika kekurangan dana, maka pemimpin berusaha mencarinya. Kekurangan fasilitas tidak menjadi hambatan untuk berprestasi. Gambaran lebih jelas lagi-lagi, adalah apa yang dilakukan oleh pejuang kemerdekaan dulu. Dalam keadaan tidak memiliki senapan pun, mereka berperang dengan menggunakan senjata apa adanya, dan bahkan bergerilya menggunakan bambu runcing untuk menyerang musuh. Kita bisa bayangkan, apa yang akan terjadi misalnya, jika para pejuang itu baru mau berangkat perang jika DIPA atau anggarannya sudah cair.

Selain itu, keberhasilan pemimpin hanya akan diperoleh manakala ada kesediaan bekerja melebihi standar yang ditentukan dan tidak sebatas formalitas belaka. Pemimpin yang hanya bekerja sesuai dengan standar apalagi hanya ngikuti aturan formal, misalnya hadir dan pulang dari kantor sesuai dengan jadwal, menggunakan anggaran sebatas berdasarkan ketentuan formal tidak sesuai pun lalu dicocok-cocokkan agar anggaran bisa cair, dan seterusnya, maka cara berpikir dan bekerja seperti itu tidak akan membawa kemajuan. Pemimpin pejuang harus berani melakukan efisiensi dan efektivitas anggaran maupun ketenagaan. Pemimpin harus berani melakukan terobosan-terobosan dan bahkan juga memotong jarak birokrasi yang panjang, jika hal itu diperlukan.

Pemimpin yang berhasil harus berani menempatkan diri bagaikan orang yang sedang menjadi navigator kapal di laut yang sedang bergejolak. Untuk menyelamatkan kapalnya, ia harus berpikir dan bekerja keras, melakukan perhitungan untung rugi, sehingga di tengah-tengah badai pun kapalnya selamat dan nyampai di tujuan. Sebaliknya, pemimpin yang maunya hanya aman, untung dan merasa nikmat, maka lembaga yang dipimpinnya tidak akan maju. Intinya kunci keberhasilan itu adalah adanya kemauan untuk berjuang. Sekali keberhasilan pemimpin bukan hanya semata-mata didasarkan atas peraturan, pedoman, tata-tertib, juklak dan juknis tupoksi, melainkan pikiran dan semangatnya dipandu oleh visi, tanggung jawab dan semangat berjuang memajukan lembaganya, serta menyandang akhlak mulia.

Pemimpin yang hanya berharap mendapatkan tunjangan dan fasilitas cukup, apalagi kemudian fasilitas itu hanya untuk kepentingan dirinya sendiri, maka jangan berharap pemimpin seperti itu mendapatkan kemajuan. Pemimpin yang berhasil manakala mereka mampu menggerakkan seluruh potensi yang ada di bawah kepemimpinannya. Sedangkan bawahan biasanya hanya mau bergerak dan ikut berjuang, manakala dipimpin oleh orang yang tulus, adil dan jujur serta bersedia memberikan ketauladanan. Di manapun jika pemimpinnya hanya mencari keuntungan dan keselamatannya sendiri, maka anak buah mereka akan bekerja setengah hati. Menurut hemat saya, yang dibutuhkan oleh bawahan, bukan hanya peraturan dan petunjuk yang disampaikan melalui kata-kata ceramah, pidato atau semacamnya, melainkan ketulusan dari para pemimpin melalui ketauladanannya.

Oleh karena itu modal kedua dari seorang pemimpin adalah pengorbanan. Pemimpin pejuang yang berhasil harus ada kesediaan untuk berkorban. Tegasnya berjuang harus diikuti oleh kesediaan berkorban. Pengorbanan itu bisa beraneka ragam bentuknya, baik pikiran, tenaga dan bahkan juga harta sekalipun. Tidak akan berhasil pemimpin yang justru hanya berkeinginan mendapatkan keuntungan material dari kepemimpinannya. Apalagi pemimpin di lembaga yang masih sedang tumbuh dan berkembang, seperti di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang ini. Pemimpin harus banyak berkorban untuk menunjukkan atas keikhlasan dan ketulusannya dalam memimpin.

Secara terus terang, saya terpaksa harus mengungkap kepada para pimpinan perguruan tinggi yang datang pada setiap saat ke kampus untuk studi banding. Hal yang semestinya saya rahasiakan, karena terkait dengan akhlak beramal, pengorbanan yang saya lakukan untuk kepentingan pengembangan kampus, terpaksa saya sampaikan secara terbuka dan terus terang. Untuk memajukan kampus yang sekalipun berstatus negeri , pada fase-fase awal dulu, saya pernah berniat menggadaikan rumah, sekalipun akhirnya dilarang oleh Menteri Agama; memberikan seluruh tabungan pribadi untuk membelikan rumah salah seorang karyawan yang sudah pensiun, agar pindah dari rumah dinas, memberikan tunjangan jabatan untuk modal pengadaan fasilitas kampus, memotong penghasilan 20 % setiap bulan untuk keperluan membantu mahasiswa yang mengalami kesulitan membayar SPP dan bahkan mulai akhir-akhir ini menyerahkan seluruh tunjangan rektor setiap bulan kepada Lembaga Zakat, Infaq dan Shadaqoh El Zawa UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Lembaga ini didirikan untuk memberikan bantuan pada mahasiswa yang perlu mendapatkan perhatian. Dan masih banyak lagi pengorbanan bentuk lain yang terlalu panjang disebutkan.

Pengorbanan seperti itu, ternyata kemudian melahirkan kekuatan yang luar biasa untuk menggerakkan semangat berkorban, membesarkan kampus. Setelah saya mengawali memberikan apa yang saya miliki, ternyata juga segera diikuti oleh yang lain sesuai dengan kemampuannya. Para dosen, karyawan dan bahkan para wali mahasiswa ikut memberikan sumbangan pada pengembangan kampus ini. Sehingga hasilnya, beberapa fasilitas kampus seperti sebagian bangunan ma’had, beberapa rumah dinas pengasuh ma’had, tower air ma’had, bangunan masjid, gedung bisnis center, beberapa kendaraan dinas dan lain-lain, sumber pendanaanya diperoleh dari beberapa pihak sebagaimana yang saya sebutkan itu, dan bukan didapat dari pemerintah.

Menurut keyakinan saya, memajukan lembaga pendidikan yang masih berada dalam taraf pertumbuhan dan pengembangan, harus ditempuh dengan memberikan pengorbanan yang sebesar-besarnya. Cara-cara seperti itu apalagi di lembaga pemerintah, mungkin sementara orang menganggapnya berlebih-lebihan dan atau tidak lazim. Akan tetapi, hanya dengan menempuh cara-cara yang tidak lazim itu maka lembaga pendidikan Islam, semacam UIN Maulana Malik Ibrahim ini menjadi tumbuh dan berkembang. Sebaliknya, saya berkeyakinan, jika memimpin lembaga hanya menempuh cara-cara yang biasa dan lazim, apalagi dengan pendekatan formal mengikuti aturan-aturan biasa, tidak memperhatikan efisiensi dan efektivitas secara penuh dan pimpinannya tidak mau berkortban, maka sulit rasanya diperoleh kemajuan yang cepat. Akhirnya, saya katakan bahwa sesungguhnya, dua kunci keberhasilan menggerakkan lembaga pendidikan Islam, yaitu kemauan berjuang dan sekaligus berkorban. Selanjutnya, melalui renungan yang dalam, saya juga berpikir, jangan-jangan sesungguhnya pembangunan dalam lingkup besar pun, misalnya membangun negeri agar bisa lebih maju dan makmur, sesungguhnya memerlukan dua kata itu. Tapi sayangnya, dua kata indah ini seringkali tidak tampak dalam kenyataan dan bahkan seringkali terlupakan. Wallahu a’lam.